Awal
Hidup
Fransiskus
terlahir bernama Francisco de Jaso y Azpilcueta di Kastil Xavier
(dalam bahasa Spanyol modern Javier, bahasa Basque Xabier, bahasa
Katalan Xavier) dekat Sangüesa dan Pamplona, di Navarra, Spanyol.
Lahir sebagai putra bangsawan Spanyol, Basque di Navarro.
Pendidikan
Setelah
tamat sekolah menengah, Fransiskus Xaverius masuk Universitas Paris.
Di sana dia mengambil studi hukum dan teologi dan berkenalan dengan
Ignatius Loyola. Tahun 1530 dia berhasil mendapat gelar licence ès
arts. Beberapa tahun selanjutnya, (15 Agustus 1534) bersama dengan
Ignatius, Pierre Favre dan empat orang lainnya, Xaverius mengikat
janji di Montmartre dan membentuk Serikat Yesus (Cat.1). Mereka juga
mengucapkan kaul/nazar untuk melayani Tuhan saat berziarah ke Tanah
Suci di Gereja Montmartre, Paris. Fransiskus Xaverius mengabdikan
sebagian besar dari masa hidupnya bagi karya misi di negeri-negeri
terpencil.
Permulaan
Misi
Fransiskus
Xaverius ditahbiskan sebagai imam di Venesia (1537) dan diutus
Ignasius ke India (1539). Karena Raja Yohanes III (Bahasa Portugis:
Dom Joao III) dari Portugal menghendaki agar para misionaris Yesuit
berkarya di Hindia-Portugis, maka ia pun diutus ke sana pada tahun
1540.
Perjalanan
Misi
Untuk
menuju Hindia, Fransiskus melewati Lisbon. Di Lisbon Fransiskus
menemui Rm. Rodriguez yang sedang bertugas di suatu rumah sakit.
Mereka tinggal di rumah sakit tersebut untuk menolong orang-orang
yang sakit, sekaligus berkatekese dan memberikan pelajaran di kota
serta mendengarkan pengakuan-pengakuan dosa pada hari Minggu dan
hari-hari libur. Dari Lisboa, bersama dua Yesuit lainnya dan Martin
de Sousa raja muda yang baru, melanjutkan perjalanan. Ternyata
Fransiskus berada satu kapal dengan Don Martin Alfonso de Sousa,
Gubernur Hindia. Ia pun menggunakan kesempatan yang ada untuk
memberitakan Injil kepadanya, berkatekese, berkhotbah, melayani orang
sakit, dan mengubah kabin kapal menjadi tempat perawatan. Bahkan,
saat berada di kapal itu Fransiskus menengahi pertikaian, menenangkan
keluhan-keluhan, menghadapi sumpah serapah dan perjudian, dan
memperbaiki ketidakteraturan lainnya. Pelayaran mereka menghabiskan
waktu 13 bulan untuk mencapai Goa. Sebelum mencapai Goa -- India,
ibukota koloni Portugis, mereka sempat singgah di Mozambik. Akhirnya
mereka tiba di Goa tanggal 6 Mei 1542. Jabatan resminya di Goa adalah
Nuncio Apostolik (duta besar kerasulan). Fransiskus berkarya di Goa
selama 3 tahun. Selain ke Goa, Fransiskus juga melakukan perjalanan
ke Srilangka, dan Teluk Comorin. Di Goa ia mendirikan “sekolah
international St. Paulus”.
Di
Tanah Misi
Tahun
1542, ia mengadakan perjalanan misinya yang pertama di antara kaum
Parava, para penyelam mutiara di sepanjang pesisir Timur India
Selatan, sebelah Utara tanjung Comorin. Ia berusaha memberitakan
kabar baik kepada Raja Travancore, di pesisir Barat, dan juga
mengunjungi Sailan.
Ia
memulai misinya dengan mengajarkan prinsip-prinsip agama dan
praktik-praktik kebajikan. Kecuali beberapa pakaian dan buku,
Fransiskus menolak semua hadiah dari raja. Ia juga menolak didampingi
seorang pelayan, dengan mengatakan bahwa cara terbaik untuk memiliki
kehormatan sejati adalah dengan mencuci pakaian sendiri, merebus
masakan sendiri, dan tidak berhutang pada siapa pun. Sepanjang hari
dia mengerjakan pelayanannya. Sejak pagi ia menolong dan menghibur
orang sakit di rumah sakit dan di penjara-penjara yang kotor dan bau,
kemudian berjalan di jalan-jalan sambil membunyikan bel memanggil
anak-anak dan para budak untuk berkatekese. Mereka berkumpul
mengelilinginya dan ia mengajarkan syahadat iman (kredo), doa-doa,
dan nilai-nilai kristiani kepada mereka. Ia mengadakan misa untuk
para penderita lepra, berkhotbah di depan umum (termasuk kepada
orang-orang India), serta mengunjungi rumah-rumah penduduk. Keramahan
dan kelembutan karakternya, serta perhatiannya yang penuh kemurahan
hati, begitu memikat hati banyak orang. Cinta dan kerendahan hatinya
membuatnya menempatkan diri sebagai seseorang yang sederajat dengan
mereka. Ia makan makanan yang sama dengan makanan orang miskin, yaitu
nasi dan air. Ia juga tidur di atas tanah dalam sebuah gubuk.
Pengajaran-pengajaran
tentang kebenaran-kebenaran agama juga dituangkannya dalam lagu-lagu
populer. Cara ini begitu berhasil sehingga lagu-lagu ini dinyanyikan
di mana-mana (di jalan-jalan, rumah-rumah, dan tempat-tempat kerja).
Misi
di Malaka
Di
Cochin (India Selatan), Fransiskus mendengar kabar bahwa ada dua raja
di Sulawesi Selatan yang baru saja dibaptis dan minta supaya ada
seorang misionaris datang untuk mengokohkan iman kristiani mereka.
Oleh karena itu, dia segera berlayar ke Malaka. Dia melakukan ini
karena terdorong oleh keinginannya untuk mengabarkan Injil sampai ke
ujung bumi. Tidak puas akan hasil upayanya, dia kembali ke Timur pada
tahun 1545 dan menyusun rencana perjalanan misi ke Makasar, Sulawesi.
Ia mewartakan Injil dengan tekun di kalangan nelayan Pantai Malabar
selama tiga tahun dan berhasil menobatkan puluhan ribu orang.
Tuhan
melakukan banyak mukjizat penyembuhan melalui Fransiskus. Di Malaka
ia membangkitkan kembali seorang gadis muda yang tidak saja sudah
mati, tetapi sudah dikubur selama tiga hari. Peristiwa ini hanyalah
salah satu dari banyak mukjizat yang terjadi. Dalam proses
kanonisasinya, tercatat bahwa ia beberapa kali membangkitkan orang
mati selama perjalanannya sepanjang pantai Teluk Fishery, Tranvacore,
Jepang, dan Pulau Sancian.
Setelah
hari raya Paskah tahun 1546, ia kembali ke pulau Ambon, kemudian
menuju Malaka. Misi di Ambon ini menjadi salah satu awal sejarah
Gereja Katolik di Indonesia. Selama rentang waktu tersebut,
disebabkan kekecewaannya terhadap para petinggi Goa, Santo Fransiskus
menulis sepucuk surat kepada Raja Dom Joao III meminta
diberlakukannya Inkuisisi (Cat.2) di Goa. Meskipun demikian,
Inkuisisi Goa baru mulai dijalankan delapan tahun setelah
kematiannya.
Setelah
itu ia mengunjungi Maluku, Ternate, dan Moro. Di Maluku, Fransiskus
melakukan banyak karya kerasulan, antara lain menemui umat Katolik
setempat, mengunjungi orang-orang sakit, dan mengadakan
sakramen-sakramen. Untuk membantu pelayanannya ia dibantu penduduk
pribumi sebagai penerjemahnya. Di sana ia juga mempelajari bahasa
Melayu dan adat-istiadat setempat. Doa-doa seperti Doa Bapa Kami,
Salam Maria, dan Aku Percaya berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu disertai keterangan tambahan untuk memperdalam iman. Di sana,
Fransiskus bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat tanpa
membedakan kepercayaan, status ekonomi, dan latar belakang
pendidikan.
Ketika
berada di Malaka, Fransiskus Xaverius berjumpa dengan seorang
bangsawan Jepang dari Kagoshima bernama Anjiro. Anjiro telah
mendengar kabar mengenai Fransiskus pada tahun 1545 dan berlayar dari
Kagoshima ke Malaka dengan maksud bertemu dengannya. Anjiro melarikan
diri dari Jepang setelah dituduh melakukan pembunuhan. Ia lalu
mencurahkan isi hatinya kepada Fransiskus Xaverius, menceritakan
riwayat hidupnya serta adat dan budaya tanah airnya. Setelah beberapa
lama, Anjiro pun dibaptis dengan nama Paulo de Santa Fe. Selanjutnya
mereka mulai menyusun rencana suatu misi bagi negeri Jepang. Anjiro
membantu Fransisku Xaverius menerjemahkan beberapa paragraf ajaran
kristiani ke dalam fonem Bahasa Jepang yang kemudian dihafal oleh
Fransiskus.
Misi
di Jepang
April
1549 Fransiskus mulai berlayar ke Jepang, ditemani oleh seorang
pastor Yesuit, seorang awam, juga dua orang Jepang yang telah
bertobat. Ia disambut dengan ramah-tamah dan dijamu oleh keluarga
Anjiro hingga bulan Oktober 1550, selanjutnya ia tinggal di
Yamaguchi.
Melihat
bahwa kemiskinan dalam pewartaan Injil di Jepang tidak menarik
sebagaimana di India, Fransiskus mengubah metode-metodenya. Ia
memberikan surat dan hadiah-hadiah (a.l.: kotak musik, jam, dan
kacamata) kepada Daimyo (Cat.3). Daimyo menerima hadiah-hadiah
tersebut dengan senang hati dan memberikan kebebasan kepada
Fransiskus untuk mengajar serta menyediakan sebuah biara Budha yang
kosong sebagai tempat tinggalnya. Maret 1551 dan diizinkan berkhotbah
oleh daimyo provinsi itu. Akan tetapi karena kurang lancar berbahasa
Jepang, ia hanya membacakan dengan lantang terjemahan katekismus.
Selain itu, Fransiskus juga diterima dengan baik oleh para rahib
Shingon karena ia menggunakan kata “Dainichi” (Cat.4) untuk Allah
orang Kristen. Setelah ia mendalami makna religius dari kata itu, ia
menggantinya dengan kata “Deusu” dari kata Latin dan Portugis
“Deus”.
Seiring
berjalannya waktu, kehadirannya di Jepang dapat dianggap membuahkan
hasil yakni adanya ratusan petobat baru dan dibentuknya jemaat-jemaat
Kristiani di Hirado, Yamaguchi dan Bungo. Fransiskus berkarya lebih
dari dua tahun di Jepang dan menyaksikan lahirnya Yesuit-Yesuit
penerusnya. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke India. Dalam
pelayarannya itu, suatu badai dahsyat memaksanya untuk singgah di
sebuah pulau dekat Guangzhou, Tiongkok tempat ia berjumpa dengan
Diégo Pereira, seorang pedagang kaya-raya, sahabat lamanya dari
Cochin.
Misi
di Cina
Awal
September 1552, Fransiskus sampai di Tiongkok. Di sana ia
memperkenalkan diri sebagai Nuncio Apostolik dan Pereira sebagai duta
besar dari Raja Portugal. Naasnya, surat Apostolic Nuncio miliknya
tertinggal. Saat itu, ia hanya ditemani seorang murid Yesuit, Alvaro
Ferreira, seorang pria Tionghoa bernama Antonio dan seorang pelayan
Malabar bernama Khristoforus.
Akhir
Hidup
Seusai
melakukan misa Fransiskus terkena demam tinggi, mengeluarkan darah,
namun ia tak henti-hentinya berdoa di tengah-tengah kejang-kejang dan
suara mengigaunya. Ia semakin lemah dan lemah. Akhirnya tanggal 3
Desember 1552, ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan, Sang Pencipta
dengan tenang dan penuh kedamaian. Fransiskus meninggal pada usia 46
tahun. Dengan demikian dia belum sempat menginjakkan kakinya di
daratan utama Tiongkok.
Pengakuan
Kendati
Fransiskus sangat berhasil mewartakan Injil, membuka wilayah-wilayah
baru, dan membangkitkan semangat misioner, cara kerjanya tidak bebas
dari kritik. Tahun 1622, Fransiskus dinyatakan santo oleh Urbanus
VIII, Gereja Anglikan dan Katolik; Pius X menggelarinya 'Pelindung
Gereja di Tanah Misi dan Karya Pewartaan Iman'. Ia dibeatifikasi oleh
Sri Paus Paulus V pada tanggal 25 Oktober 1619, dan dikanonisasi oleh
Sri Paus Gregorius XV pada tanggal 12 Maret 1622, bersamaan dengan
kanonisasi Ignatius Loyola.
Universitas
Sophia di Tokyo, Jepang didirikan pada tahun 1913 untuk
menghormatinya.
Pada
tahun 1839, Theodore James Ryken mendirikan Xaverian Brothers, atau
Kongregasi Santo Fransiskus Xaverius (CFX). Kini, ada 20 kolese atau
SMU yang dibawahi oleh Xaverian Brothers Sponsored Schools (XBSS).
Tanggal
3 Desember kini ditetapkan sebagai hari istimewa untuk memperingati
jasa-jasa Fransiskus. Banyak gereja di seluruh dunia dinamakan
menurut namanya. Salah satunya adalah Gereja Katedral Santo
Fransiskus Xaverius, Keuskupan Amboina, Ambon. Basilika Santo
Fransiskus Xaverius di Dyersville, Iowa adalah salah satu dari 52
basilika minor di Amerika Serikat dan satu-satunya yang berada di
luar kawasan metropolitan. Ada pula sebuah universitas terkenal di
Kanada yang dinamakan menurut namanya di Antigonish, Nova Scotia
yakni Universitas St. Fransiskus Xaverius.
Penutup
Riwayat
hidup Fransiskus Xaverius mengungkapkan betapa gembira hatinya
menerima Kabar Gembira Kerajaan Allah, menerima Sang Mesias, sehingga
ia tak segan-segan berkeliling dunia dan menghadapi segala tantangan
untuk membagikan kegembiraannya dengan mewartakan Sang Mesias.
Riwayatnya merupakan sebuah ajakan agar kita menyadari betapa
berharganya Kabar Gembira Kerajaan Allah, betapa berharganya Kristus
Sang Mesias. Dengan iman dan kesadaran ini marilah kita menyambut
Sang Mesias dan memberitakan-Nya dengan penuh sukacita.
Catatan:
Kelompok
yang berkomitmen untuk meneladan Yesus dalam hal kemiskinan dan cinta
kasih-Nya guna mewartakan Injil. Pengikutnya disebut Yesuit.
Inkuisisi
(dengan huruf I besar) adalah istilah yang secara luas digunakan
untuk menyebut pengadilan terhadap bidaah oleh Gereja Katolik Roma.
Istilah ini juga dapat bermakna tribunal gerejawi atau lembaga dalam
Gereja Katolik Roma yang bertugas melawan atau menyingkirkan bidaah,
sejumlah gerakan ekspurgasi historis terhadap bidaah (yang digiatkan
oleh Gereja Katolik Roma), atau pengadilan atas seseorang yang
didakwa bidaah.
Daimyo
berasal dari kata Daimyoshu, kepala keluarga terhormat yang berarti
orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah. Di dalam
masyarakat samurai di Jepang, istilah daimyo digunakan untuk samurai
yang memiliki hak atas tanah yang luas (tuan tanah) dan memiliki
banyak pengikut.
Dainichi
adalah sebutan untuk dewa umat Budha di Jepang.